Di Kejaksaan Negeri Medan, massa P3H diterima langsung oleh perwakilan lembaga. Pihak Kejari menyatakan akan menindaklanjuti setiap tuntutan secara objektif sesuai dokumen yang diserahkan. Sikap terbuka ini dipandang sebagai bukti bahwa ruang dialog antara masyarakat dan aparat penegak hukum masih terjaga.
Namun, keadaan berbanding terbalik saat massa melanjutkan aksi ke Kantor Wali Kota Medan. Selama lebih dari satu jam melakukan orasi, tidak satu pun perwakilan Pemko Medan hadir untuk memberikan penjelasan maupun menerima aspirasi. Gedung Balai Kota simbol kekuasaan publik justru memilih bungkam. Tidak ada penyambutan, tidak ada klarifikasi, tidak ada wujud tanggung jawab moral sebagai institusi pelayanan publik.
Koordinator Lapangan P3H, Ilham Panggabean, menilai absennya respons dari Pemko Medan sebagai gambaran lemahnya komitmen terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas. Ia menyebut birokrasi kota ini semakin jauh dari nilai keterbukaan, bahkan terkesan anti-kritik.
Dalam aksi tersebut, P3H mengajukan lima tuntutan strategis yang dianggap menyentuh inti masalah tata kelola pemerintahan di Kota Medan, antara lain:
1. Pembentukan tim audit independen untuk mengusut dugaan praktik “godfather” yang dinilai mengintervensi kebijakan dan merusak sistem meritokrasi birokrasi.
2. Pengusutan dugaan transaksi kerja sama antara Kepala UPT SDN 060843 dengan oknum di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Medan.
3. Penyelidikan dugaan permainan perizinan PBG yang diduga melibatkan oknum di Dinas Perkim.
4. Dukungan penuh kepada Kejari Medan dan Kejati Sumut untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan yang telah dilaporkan.
5. Audit forensik terhadap dana BOS dan proyek revitalisasi RSUD Dr. Pirngadi yang dinilai sarat kejanggalan.
Meski aparat kepolisian dan Satpol PP sempat mengimbau massa menjaga ketertiban, justru Pemerintah Kota Medan yang dinilai gagal memperlihatkan itikad baik untuk berdialog dengan publik. Sikap diam tersebut menimbulkan pertanyaan besar: Apa yang sebenarnya ditutupi? Mengapa sekadar menerima aspirasi pun tidak dilakukan?
Ilham menegaskan bahwa aksi ini bukanlah yang terakhir. Dalam waktu dekat, P3H berencana menggelar gerakan lanjutan dengan eskalasi lebih besar sebagai bentuk kekecewaan publik terhadap apa yang mereka sebut sebagai “stagnasi kepemimpinan” di Balai Kota.
Seorang peserta aksi bahkan melontarkan pernyataan tegas menggambarkan kondisi Kota Medan saat ini:
“Medan hari ini bukan untuk semua, tetapi untuk oligarki, elit, dan kelompok berkepentingan.”
Aksi P3H menjadi sinyal bahwa desakan masyarakat terhadap pembenahan tata kelola pemerintahan semakin kuat. Sorotan kini mengarah kepada Pemko Medan: apakah akan membuka ruang dialog, atau terus mempertahankan sikap diam yang justru memperlebar jurang ketidakpercayaan publik. (Red)


